Jumat, 30 Desember 2011

PERAN MEDIA MASA DAN AKTIVIS MAHASISWA

   Menjadi aktivis pada zaman yang “musuh bersama”-nya sangat abstrak saat ini, memang butuh kreatifitas ekstra. Adanya kemampuan pihak suprastruktur (pemerintah) untuk menggeser-geser isu negara dengan cepat dan cantik, membuat para aktivis terkadang kelimpungan menghadapinya. Hal ini dilanjutkan dengan belum ditemukannya format baku gerakan aktivis pasca reformasi ini. Jika dulu para aktivis dapat melakukan terobosan gerakannya lewat momentum kemerdekaan, untuk mengusir para pemodal asing, untuk menggulingkan kediktatoran seorang pemimpin.Bisa jadi memang kita belum menemukan momentumnya, sehingga seakan kita terpecah dalam terobosan gerakan masing-masing “wadah” aktivis. Lantas bagaimana menyikapi hiruk-pikuk permasalahan era zaman kita? Apakah kita akan diam?
Kalau kita ingin biasa-biasa saja, maka janganlah membuat terobosan-terobosan apa-apa. Silakan statis dan monoton saja. Tetapi kalau suara kita mau didengar, kiprah kita mempengaruhi banyak orang dalam skala yang luas, sehingga kita “bukan aktivis biasa”, maka berbuatlah sesuatu. Manfaatkan media apapun secara positif karena kekuatan media adalah sangat luar biasa.Sebagai contoh, kisah gugatan hukum Prita oleh sebuah Rumah Sakit Internasional di Indonesia tentu masih melekat kuat dibenak kita. Prita yang merasa dirugikan digugat hukum oleh pihak rumah sakit. Lewat opini yang dia lontarkan di media maya surat elektronik, Prita memantik dukungan masyarakat Indonesia lewat gerakannya yang bertajuk “gerakan koin peduli Prita”.Lain halnya dengan kisah Jojo dan Sinta. Siapa kini yang tidak tahu mereka? Dua wanita yang merekam lipsync “Keong Racun” mendadak melontarkan keduanya sebagai orang-orang yang bahkan lebih popular ketimbang peserta kontes idol atau pencarian bakat yang terlembaga. Ternyata, hal sederhana yang tampil apik di media dapat menyebabkan dampak sistemik yang tak sekedar isapan jempol belaka.
Penggunaan media yang optimal harus diimbangi dengan “isi” yang mau hendak kita bawa. Bentuknya bisa tuangan pemikiran orisinalitas kita dalam bentuk tulisan atau bisa pula berupa penyuaraan opini lewat gerakan-gerakan inovatif atau karya yang telah dilakukan. Kalau tulisan atau gerakan yang kita lagi-lagi, biasa-biasa saja, tentu akan sulit dilirik media dan barangkali masyarakat pun sudah lelah melihat hal berulang dan terkesan itu-itu saja. Memang konten lewat kajian intelektual yang mendalam itu penting, tetapi metode atau cara penyampaian juga tak kalah pentingnya.
sebuah kebenaran bahwa bukan tugas aktivis saja untuk menyodorkan konsep-konsep finalnya dalam sebuah aksi, tetapi aksi apa pun juga memerlukan situasi medan yang dihadapi. Jadi, adalah sebaiknya aktivis jika mereka setidak-tidaknya mempunyai gambaran yang menyeluruh mengenai masalah-masalah pokok yang dihadapi. Tanpa big picture yang demikian itu, kita hanya akan kehilangan orientasi dan akhirnya hanya sekedar bertindak sebagai pemberi reaksi-reaksi spontan yang tidak akan berdampak fundamental dalam masyarakat.
Buat apa kita melakukan aksi berkarya? Buat apa kita melakukan aksi turun ke jalan? Buat apa ada aksi mengabdi masyarakat? Buat apa aksi melatih jiwa kewirausahaan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa didapatkan ketika kita dapat menemukan titik temu intelektualitas kita dengan realitas masyarakat. Intelektualitas tanpa menyentuh sisi realitas hanya menjadi kajian belaka, dan realitas tanpa disentuh intelektualitas hanya akan menjadi permasalahan tak akan kunjung usai.

BY.

LEO BRANDAL MBOJO

sesuatu yang berguna kadang tak berarti,tetapi sesuatu yang berarti kadang berguna

Dalam kehidupan kita sehari – hari ,banyak kejadian – kejadian yang kita jumpai. Kejadian tersebut mempunyai suatu momen. Ada momen-momen penting dan berguna, ada pula momen – momen yang tidak penting dan tidak berguna dalam hidup kita. Momen – momen penting dan berguna selalu kita ingat dan kita kenangkan dalam sepanjang hidup kita, sebaliknya momen – momen yang tidak penting dan tidak berguna selalu kita lupakan dan kita abaikan dalam hidup kita. Tetapi apabila kita meresapi dan memahami momem- momen yang tidak berguna tersebut, sebenarnya terkandung suatu makna yang sangat berarti dalam hidup kita.
Kadang orang beranggapan bahwa sesuatu yang berguna selalu berarti bagi dirinya dan sebaliknya sesuatu yang tak berguna tidak berarti bagi dirinya…Anda jangan salah mempresepsikan demikian, karena sesuatu yang berguna kadang tak berarti tetapi sesuatu yang tak berarti kadang berguna bagi kita. Pada saat anda lagi senang ekonomi anda baik, kebutuhan anda selalu terpenuhi, sesuatu yang tak berarti dianggap tidak berguna bagi anda. Tetapi jika anda mengalami kesusahan, kebutuhan anda tidak terpenuhi, sesuatu yang tak berarti kadang berguna dan sangat dibutuhkan oleh anda.
Oleh karena itu, jangan pernah beranggapan bahwa sesuatu yang berguna selalu berarti dan sesuatu yang tak berarti selalu tidak berguna, tetapi berpikirlah bahwa : “Sesuatu yang berguna kadang tak berarti dan Sesuatu yang tak berarti kadang berguna “.
KEHIDUPAN KOS-KOSAN.

                        BY.
                              L E O MBOJO

Minggu, 18 September 2011

Bima Melawan Neo Liberalisme


Bima, salah satu daerah di Nusa Tenggara Barat, tiba-tiba bergolak. Sudah hampir sebulan ini rakyat melakukan gerakan perlawanan. Meskipun jarang menjadi perhatian dalam politik nasional, tetapi beberapa minggu terakhir ini perlawanan rakyat Bima telah menjadi sorotan.
Kejadian pertama yang menjadi sorotan adalah peristiwa 10 Februari 2011 lalu, di depan kantor kecamatan Lambu, Bima. Saat itu, ribuan warga Lambu menggelar aksi di kantor kecamatan dan mendesak sang camat untuk bersikap menolak pertambangan di daerahnya. Di tengah proses negosiasi, Polisi telah menyerang warga dan menembak beberapa orang warga.
Kejadian terbaru berlangsung 24 Februari lalu, di kecamatan Parado. Saat itu ribuan warga mendatangi Kantor Polsek untuk menuntut pembebasan Ahmadin, seorang aktivis yang ditahan Polres Bima karena dugaan melakukan pembakaran terhadap basecamp PT. Valey Sumbawa Mining. Karena Polisi tidak juga merespon dengan baik tuntutan warga, massa pun membakar kantor Polsek dan menyandera Kapolseknya. Sore harinya, sekitar pukul 18.10 WIB, Polisi menyerbu warga desa dengan senjata lengkap. Sembilan orang rakyat terkena tembakan peluru tajam dan tiga orang lainnya ditangkap.
Hampir semua kejadian itu bermula dari penolakan warga atas kehadiran perusahaan tambang di daerahnya. Dengan kehadiran perusahaan tambang tersebut, masyarakat mulai kehilangan akses terhadap sumber-sumber kehidupan seperti hutan, tanah, dan air. Selain itu, eksplorasi tambang itu tidak sedikit yang menyebabkan kerusakan ekologis, merusak lahan pertanian rakyat, mengganggu usaha ekonomi rakyat, dan lain sebagainya.
Meskipun sebagian besar tanahnya adalah daratan tinggi (70%), dan hanya 30% yang merupakan daratan rendah, Bima punya potensi alam yang besar: emas, tembaga, pasir besi, dan mangan. Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, telah mengobral sejumlah ijin pertambangan kepada sejumlah perusahaan untuk mengeksploitasi kekayaan alam di Bumi Maja Labo Dahu. Di Kecamatan Lambu sendiri, Bupati Ferry Zulkarnain telah memberi ijin usaha pertambangan kepada dua perusahaan, yaitu PT. Sumber Mineral Nusantara dan PT. Indo Mineral Cipta Persada. Selain melalui ijin usaha dari bupati, beberapa perusahaan tambang itu mendapatkan ijin melalui kontrak karya bersama pemerintah pusat.
Kejadian ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan neoliberal yang dipraktekkan pemerintah pusat. Melalui dua kebijakan perundangan yang berbau neoliberal, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk mengeluarkan ijin pertambangan. Dan, dengan demikian, modal asing juga punya keleluasaan untuk masuk dan mengeruk kekayaan daerah.
Bagi rakyat Bima, yang punya ikatan kuat secara kultural dengan alam dan tanahnya, kehadiran perusahaan tambang tersebut jelas merupakan ancaman terhadap kehidupan mereka. Karena itulah rakyat Bima telah melakukan perlawanan sehebat-hebatnya. Meskipun berkali-kali mendapatkan represi, tetapi perlawanan rakyat tidak memperlihatkan tanda-tanda akan surut.
Hanya saja, hal yang patut dihindari dari perlawanan ini adalah, bahwa perlawanan ini disempitkan menjadi isu kekerasan dan HAM semata, sementara pemicu kemarahan rakyatnya tidak dikuatkan. Oleh karena itu, berhubung kejadian semacam ini terjadi juga di daerah-daerah lain, maka solidaritas dan jaringan perlawanan menjadi sangat penting.
Sangat penting bagi gerakan anti-imperialisme, mengingat bahwa sebagian besar perusahaan tambang ini adalah perusahaan asing, bahwa isu semacam ini bisa menjadi amunisi tambahan untuk membangun persatuan nasional melawan imperialisme.

Sabtu, 21 Mei 2011

PERS INDONESIA

Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat.
Peran besar ini memang membutuhkan sejumlah prasyarat. Di antaranya adalah ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara maksimal –tentu saja selain kode etik yang membuatnya harus tetap profesional. Sangatlah tepat jika wartawan senior yang juga mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mokhtar Lubis, menyatakan, “Kemerdekaan pers merupakan satu unsur di dalam peradaban manusia yang maju dan bermanfaat tinggi dan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan jika kemerdekaan pers itu tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang.”
Kemerdekaan pers masih menjadi barang mahal di Indonesia, penggunaan KUHP untuk “menghukum” pers masih terjadi setidaknya hingga akhir tahun 2006. Meski Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa pemidanaan terhadap pers bukan memperkuat pers bebas melainkan justru mengancam pers bebas, akan tetapi para pihak yang tidak menyukai kemerdekaan pers masih memilih penggunaan “delik pers” dalam KUHP dan mengirimkan jurnalis ke penjara
Istilah delik pers sendiri sebenarnya bukan merupakan terminologi hukum, melainkan hanya sebutan umum atau konvensi di kalangan masyarakat, khususnya praktisi dan pengamat hukum, untuk melakukan penamaan pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers. Delik pers sendiri bukanlah suatu delik yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari delik khusus yang berlaku umum. Karena yang sering melakukan pelanggaran atas delik itu adalah pers, maka tindak pidana itu dikatakan sebagai delik pers.
Dalam konteks pembaharuan hukum pidana di Indonesia, komunitas pers menuntut dicabutnya berbagai delik pers dalam hukum pidana di Indonesia. Seperti diketahui, saat ini pemerintah mengajukan revisi KUHP. Rancangan KUHP tersebut sudah selesai dan kini dalam proses diajukan ke DPR. Komunitas pers menilai, R KUHP ini lebih buruk dibanding KUHP yang berlaku sekarang. Sebab, tak kurang dari 61 pasal dalam RUU KUHP tersebut diindikasikan kuat akan membatasi dan mengekang kemerdekaan pers. Padahal, dalam KUHP, pasal semacam ini hanya 37 pasal
Hukum pidana yang bertujuan untuk melakukan serangkaian pembatasan yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum. Akan tetapi reformasi hukum pidana yang hendak diwujudkan melalui Rancangan KUHP setidaknya harus memperhatikan beberapa hal yaitu:
  1. Apakah pembatasan yang dilakukan untuk melindungi kepentingan yang sah
  2. Apakah pembatasan benar-benar dibutuhkan untuk melindungi kepentingan tersebut
  3. Apakah pembatasan dilakukan dengan rumusan yang jelas
Dengan melalui penilaian di atas maka Rancangan KUHP ini diindikasikan akan mengancam kemerdekaan pers karena tak kurang dari 61 pasal dari R KUHP ini yang mempunyai potensi untuk digunakan para pihak yang tidak menyukai kemerdekaan pers untuk membungkam pers.
Indikasi ini tentunya tidak hanya berdasarkan prakiraan semata tetapi juga berdasarkan berbagai pengalaman empiris dari pergulatan antara kemerdekaan pers dan proses pemidanaan melalui KUHP yang telah terjadi selama ini
Pengalaman ini antara lain terwujud melalui berbagai kasus dibawah ini
No
Nama Kasus
Lawan
Jenis Kasus
Media
1
Risang Bima Wijaya
Soemadi M Wonohito (Kedaulatan Rakyat)
Pencemaran Nama Baik
Radar Jogja
2
Supratman
Presiden Megawati Soekarnoputri
Penghinaan Terhadap Presiden
Rakyat Merdeka
3
Teguh Santosa
Penodaan Terhadap Agama
Rakyat Merdeka Online
4
Bambang Harymurti
Tommy Winata
Penyiaran Kabar Bohong
Majalah Tempo
5
Karim Paputungan
Akbar Tanjung
Pencemaran Nama Baik
Rakyat Merdeka
6
Teguh Santosa
Dr. Sofyan Djalil (Menkominfo)
Pencemaran Nama Baik
Rakyat Merdeka Online

Dalam suatu negara hukum yang demokratis penggunaan ketentuan pidana dalam sengketa pemberitaan pers akan justru menghambat proses demokrasi, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran serta pendapat, menghambat kebebasan akan informasi dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena, segala tindakan seseorang yang berhubungan dengan penyampaian ekspresi dan pendapat sangat mungkin terjerat dengan ketentuan pidana. Sebab, acapkali suatu perbuatan disebut kritik atau penghinaan seringkali tidak obyektif atau tergantung pada tafsir –yang bisa jadi sangat sepihak.
Di sisi lain, kita menyadari bahwa kemerdekaan pers merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum. Oleh karena itu, tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang dinilai melakukan kealpaan tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum.
Ada beberapa catatan perbandingan antara delik pers yang terdapat dalam KUHP dan RUU KUHP.
Pertama, hampir semua pasal mengenai delik pers yang terdapat dalam KUHP dimasukkan kembali ke dalam RUU KUHP. Ini termasuk sejumlah pasal yang banyak diktitik, yakni pasal-pasal yang berisi penghinaan terhadap penguasa (Haatzaai Artikelen) dan pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik. Perubahan yang dilakukan dalam R KUHP adalah pada perluasan definisi pers. Dalam R KUHP terlihat, delik pers dilebarkan dari yang semula (mengikuti tiplogi pembagian delik pers Umar Senoadji) delik pers sempit ke delik pers dalam arti luas. Dalam pasal-pasal mengenai pers, tercakup semua jenis media yakni media cetak (mempertunjukkan, menempelkan), media televisi (menyiarkan, menempelkan gambaf) hingga media radio (memperdengarkan rekaman).
Kedua, R KUHP bukan memperkecil pasal-pasal mengenai delik pers. R KUHP sebaliknya menambah beberapa pasal mengenai delik pers. Apa yang tidak diatur dalam KUHP, diatur dalam R KUHP. Dalam R KUHP terdapat tindakan pidana berupa peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (Pasal 214) dan pidana penyebaran dan pengembangan komunisme (Pasal 214).
Ketiga, sejumlah tindakan pidana dalam KUHP dijabarkan atau didetilkan lebih lanjut dalam R KUHP. Tidak mengherankan jikalau pasal-pasal mengenai delik pers lebih banyak terdapat dalam R KUHP. Misalnya pasal mengenai permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu. KUHP menggabungkan permusuhan terhadap golongan, agama dalam satu pasal. Sementara dalam R KUHP, pidana penghinaan terhadap kelompok / golongan dan agama ini dipisah. Dalam RUU KUHP juga dimasukkan pidana mengenai penghasutan untuk menidakan keyakinan orang terhadap agama. Delik lain yang didetilkan ( dijabarkan) dalam R KUHP adalah delik mengenai berita bohong. Dalam KUHP hanya ada 1 pasal yang mempidanakan penyiaran berita bohong. Sementara dalam R KUHP, selain penyebaran berita bohong juga diatur pidana penyiaran berita yang tidak pas, tidak lengkap dan berlebihan. Dalam hal pengaturan pornografi. KUHP hanya memuat 2 pasal yang berkaitan dengan penyiaran dan penyebaran materi pornografi. Sementara dalam R KUHP, tindakan pidana pornografi ini diatur dari hulu hingga hilir—-dari model yang mengeksploitasi daya tarik seksual ( Pasal 472), pihak yang membuat ( 474), pihak yang mendanai ( Pasal 476) hingga pihak yang menyiarkan dan menyebarluaskan ( Pasal 471). Bahkan ketentuan dalam RUU KUHP juga menyertakan pidana terhadap pihak yang menyediakan tempat (misalnya museum ) yang menyelenggarakan pameran seni yang dikategorikan meneksploitasi daya tarik seksual.
Keempat, R KUHP memuat kembali ketentuan hukuman yang terdapat dalam KUHP, yakni pencabutan profesi. Dalam delik pers, paling tidak terdapat 7 pasal dalam R KUHP dimana pelaku bukan hanya dijatuhi hukuman kurungan tetapi juga pencabutan profesi. Pencabutan profesi ini dilakukan jikalau pelaku dalam menjalankan profesinya melakukan tindak pidana yang sama dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam konteks pekerjaan jurnalis, wartawan bisa dicabut profesinya (sebagai wartawan) jikalau melakukan tindak pidana yang sama
R KUHP jelas tidak ramah terhadap kemerdekaan pers karena semangat yang ada dalam Rancangan KUHP terutama berkaitan dengan pers adalah semangat represif. Jika berita pers salah, maka harus dihukum dan dipidana. Ini tidak akan menumbuhkan kehidupan pers yang sehat dan demokratis. Paradigma yang dianut dalam R KUHP berbeda dengan paradigma yang ada dalam Undang-Undang Pers (UU No. 40/ 1999) dan Undang-Undang Penyiaran ( UU No. 32/ 2002). Kedua Undang-Undang ini dibangun dengan prinsip membangun media dalam ranah demokrasi. Media ditempatkan sebagai mediun yang penting untuk menumbuhkan semangat demokratis dan sebagai saluran kontrol kepentingan publik. Tentu saja dalam melakukan tugasnya, pers bisa salah. Tetapi kesalahan itu tidak lantas dihukum dengan ancaman pidana. Undang-Undang pers lebih mengedepankan semangat membangun pers agar tumbuh sehat dan bertanggungjawab—-dengan penyelesaian lewat jalur mediasi (melalui hak jawab dan penyelesaian Dewan Pers). Jika ada berita media yang tidak akurat, narasumber dapat menggunakan haknya untuk mengkoreksi pemberitaan media. Undang-Undang Pers menjamin, pers wajib memberikan hak jawab dari narasumber yang merasa diberitakan secara tidak benar oleh media.
Paradigma semacam ini tidak muncul dalam R KUHP. Dalam R KUHP yang terjadi adalah kriminalisasi kegiatan jurnalis. Apabila pers salah (misalnya memberitakan secara tidak benar), dihukum dengan ancaman pidana. Karena itu banyak pasal-pasal dalam R KUHP yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers (UU No. 40/ 1999) dan Undang-Undang Penyiaran ( UU No. 32/ 2002).
Salah satu ketidaksesuaian tersebut adalah pasal mengenai berita bohong (R KUHP Pasal 307). Pasal ini hanya mengoper pasal serupa yang ada dalam KUHP (Pasal 171). Dalam prakteknya, pasal ini banyak dipakai oleh jaksa penuntut umum atau hakim dalam mengadili sengketa jurnalis—-terutama pers dinilai tidak memberitakan secara benar suatu peristiwa. Dalam R KUHP, media yang salah atau tidak benar dalam pemberitaan, dihukum dengan ancaman pidana. Sementara dalam UU Pers, pendekatan yang dikedepankan adalah mediasi antara pihak yang tidak puas dengan pemberitaan media. Khalayak mempunyai hak jawab, dan pers wajib melayani hak jawab tersebut. Orang yang tidak puas dengan berita media bisa mengajukan keberatan, dan pers wajib memuat ketidakpuasan narasumber. Soal berita bohong ini juga diatur dalam kode etik wartawan (Kode Etik Wartawan Indonesia, butir 4 : wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila).
Oleh karena itu penggunaan instrumen hak jawab, yang diatur dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menjadi penting, karena merupakan upaya untuk mewujudkan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru. Penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum
Jika hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang berimbang.
Oleh karena itu, penting untuk melihat pendapat Mahkamah Agung bahwa unsur melawan hukum dalam KUHP dan/atau RKUHP tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP dan/atau RKUHP. Apalagi, tindakan yang dilakukan oleh wartawan dilakukan berdasarkan UU Pers. Oleh karena itu, tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas. Tapi justru sebaliknya membahayakan pers bebas.

Renungan atas kekecewaan terhadap penguasa yang zalim

   Berawal dari keluh kesahku karena ketertindasan yang ada disepanjang sejarah kemanusiaan ini, maka tidak lupa aku ceriterakan bagaimana sosok kehidupan manusia pertama yaitu Adam dan generasi selanjutnya. Generasinya tidak lain adalah Habil dan Qabil, dimana Habil digambarkan sebagai seorang yang hanif, alim dan bijak dalam mengambil keputusan, dan Qabil digambarkan sebagai sosok seorang yang  tamak dan serakah. Dan imbas dari pada itu, maka kita bisa melirik bagaimana kepongahan yang dilakukan oleh Qarun karena kekayaannya, dan bagaimana keangkuhan dan kesombongan Fir’aun karena kekuatan dan kekuasaannya.
Menurut Ali Syari’ati, ini adalah pertentangan nilai ant
ara kebaikan dan keburukan. Sejarah telah mencatat bahwa baik di era lampau maupun di era kontemporer, pertautan antara kedua kubu ini masih terinternalisasi dalam psikologi sosial. Haruskah kita larut dan tenggelam dalam penjara historis yang sudah kontra-produktif lagi dalam konteks kekinian? Bukankah kehadiran sosok manusia besar, sang penyelamat atau pembimbing  umat untuk menyelamatkan manusia dari eksploitasi kemanusiaan ini? Toh yang kita rasakan dan yang kita alami sampai detik ini malah eksploitasi kemanusiaan itu makin menjamur di mayapada ini. Fondasi  keyakinanku yang dulu begitu kokoh akan kerasulannya Muhammad yang konon katanya cinta, kasih dan sayangnya meliputi langit dan bumi, sang pembebas dan sang penyelamat yang mampu mengantarkan lautan umat manusia kejalan yang  lurus (sirathoal mustakim) dan kini sudah sedikit terkikis karena disebabkan oleh kerakusan dan ketamakan manusia modern. Dan aku menilainya bahwa kerasulan dan kenabiannya Muhammad gagal secara totalitas dari misi kenabiannya dalam membimbing dan membebaskan lautan manusia yang ada di semesta ini.
Dalam konteks keindonesiaan, dimana eksploitasi kemanusiaan makin menjamur sampai kepelosok negeri. Siapakah yang akan membebaskan kita dari ketertindasan yang makin merajalela ini? Dalam stratifikasi sosial kita bisa melihat dimana yang kaya makin berkuasa dan yang miskin makin melarat, jurang pemisah antara elit penguasa dan kalangan greesroot makin jauh dan sudah tak terbendung lagi. Dimana namrud khatulistiwa yang dianggap sebagai macan asia dan bahkan dunia karena kekayaan sumber daya alamnya. Semenjak elit penguasa bersenggama dengan investor asing sehingga yang lahir adalah raja-raja baru yang siap menghisap bukan untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan tapi melainkan ingin mencabut hak hidup rakyat kecil. Manusia mana yang masih rela ditindas dan ditindis oleh roda kehidupan yang kejam dan bengis seperti ini, dan bukankah Ayatullah Morteza muthari sudah lama mengingatkan kita bahwa ketika seekor hewan disakiti maka dia akan melawan, dan kalau manusia disakiti lantas tidak melawan maka dia lebih hina dari pada binatang. Sadar dan tidaknya, kita sekarang berada dalam diam kita tertindas seperti yang diungkapkan oleh Alto Makmuralto, tetapi apakah kita harus diam dalam menatap realitas sosial yang mencengangkan ini? Tidak, karena jika revolusi diam sudah tidak bermakna maka bicaralah, dan jika bicara masih belum membawa kita kearah perubahan maka teriaklah, dan jika teriak masih juga belum, maka berontaklah. Mungkin sudah saatnya kita untuk bangkit dan melawan dalam hidup yang serba ketertindasan, rasanya sudah lama kita ditindas oleh elit penguasa secara tidak manusiawi. Sekaranglah saatnya kita konstruksi sosial movement yang massif dan intensif, Kapan lagi kalau bukan sekarang dan siapa lagi kalau bukan kita, menunggu adalah penghianatan terhadap revolusi ujar Lenin. Kenapa kita tidak berkiblat pada revolusi yang dilakukan oleh Imam Khomaini di Iran, Fidel Castro di Kuba, dan Mao di Cina? Sosok manusia-manusia besar itu mampu merubah maindset massa lewat fatwa-fatwanya dan kenapa kita tidak bisa? Walaupun Indonesia bukan negara-negara yang saya singgung diatas, Indonesia adalah Indonesia dan tidak mungkin berubah jadi Iran atau negara-negara lain. Mungkinkah benar apa yang pernah diungkapkan oleh Kang Jalal bahwa harus ada sosok manusia besar yang akan membimbing kita kearah perubahan. Aku pikir tidak, karena aku takut dia akan jadi monster yang lebih kejam, ganas lagi menakutkan bagi rakyat kecil, tetapi kesadaran diri, keberanian berpikir dan kepekaan sosial guna menopang massifitas gerakan yang kita butuhkan disaat kita melawan penguasa yang zalim seperti ini.
Aku teringat sosok seorang anak manusia pemberani yaitu Ain Al Quzat dia mati dihukum gantung di Baghdad, kesalahannya adalah karena keberanian berpikir dan kepekaan sosial, memang baik di era lampau maupun di era kontemporer keberanian berpikir adalah aib yang menakutkan bagi penguasa yang telah diperbudak oleh jabatan dan kehormatan. Dengan lugas Budha mengatakan membuat pulau disamudra danau adalah merupakan dosa besar yang tak terampuni lagi. Adakah Ain Al Quzat-Ain al Quzat kecil di negeri ini? Dan kalaupun ada, kemana dan dimanakah ia berteduh hingga detik ini belum juga hadir? Tidakkah ia melihat dan mendengar jerit tangis batin mereka karena kerinduannya akan kebebasan?
Walaupun kita tahu bersama bahwa dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis dimasa mendatang, karena ia bukanlah suatu keniscayaan hitoris. Secara dealektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya, itulah fitrah manusia sejati. Tetapi jangan menyerah dengan apa yang kita alami saat ini, karena menyerah pada penderitaan adalah bentuk penghancuran diri, maka harus ada perubahan yang diyakini dan yang menggerakkan spirit perjuangan. Hanya dengan keyakinan ini yang terus menggelora sampai saatnya berjuang, dan kita akan mendapatkan masa depan yang berarti, bukannya ketidakjelasan yang mengalienasi atau masa depan yang ditakdirkan, namun menjadi tugas untuk membangun dan mungkin ini akan menjadi sebutir benih kebebasan. Yakin dan percaya bahwa benih kebebasan yang pernah kita tanam secara kolektif dan nantinya akan tumbuh secara bersamaan untuk meluluhlantakkan imperium yang berkuasa dinegeri ini. Menurut ali Syari’ati bahwa manusia memiliki sifat-sifat yang tidak  dimiliki oleh makhluk lain yakni kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Dan lebih tegas dia mengatakan bahwa manusia bisa berbuat seperti Tuhan, karena manusia memiliki sifat Illahiah dalam dirinya, tetapi manusia bukan Tuhan.
Memang benar apa yang pernah diungkapkan oleh Mahatma Ghandi bahwa bumi ini cukup untuk kebutuhan manusia tapi bumi ini tidak mampu memenuhi keserakahan manusia. Kenapa penguasa dimuka bumi ini cendrung memperlakukan manusia secara tidak manusiawi dan bukankah kehadiran mereka sebagai pelayan bagi rakyat kecil, apa salah dan dosanya mereka sehingga diperlakukan seperti itu? Kita bisa melirik bagaimana kehidupan ribuan anak manusia yang ada dijalanan dengan pakaian compang camping, mereka rela membanting tulang siang malam demi sesuap nasi. Tidak sepantasnya anak dibawah umur  bekerja selayaknya manusia dewasa, mestinya mereka berada diruang-ruang kelas. Akan tetapi himpitan ekonomi yang membuat mereka tidak bisa mencicipi bagaimana manisnya dunia pendidikan. Apakah miskinnya mereka karena faktor kemalasan?
Menurut Kang Jalal bahwa kita miskin karena dimiskinkan oleh pemerintah. Penguasa ekstasi menikmati hasil  rampasannya sedangkan kita ekstasi menikmati  harta kita dirampas oleh penguasa. Haruskah kita membiarkan mereka yang duduk disinggasana kekuasaan merampas hak milik kita? Aku katakan tidak, kita harus melawannya sampai titik darah penghabisan, jika kematian adalah suatu keniscayaan maka sungguh hina mati jadi pengecut. Ali Syari,ati pun pernah berkata bahwa ketika terjadi penindasan dimana-mana maka pemberontakan adalah suatu kepatuhan pada sang khalik.
Mudah-mudahan coretan yang menurut saya tidak memiliki nilai ini, bermanfaat bagi sahabat-sahabat saya yang berjiwa militan dan progresif yang senantiasa merindukan kebebasan maupun yang tidak. Artikel ini lahir karena kekesalanku terhadap penguasa yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan. Tak mungkin dahaga ruhani kita terpuaskan, bila tak meneteskan air mata kerinduan. Cinta kemanusiaan adalah fitrah paling sejati.


Minggu, 15 Mei 2011

RATAPAN ANAK BANGSA

Sepanjang sejarah kemanusiaan, anak bangsa selalu dipinggirkan dan didiskriminasi oleh rezim yang tak bertanggung jawab. Sebagaimana amanat Negara yang termaktub dalam UUD 1945 yang sampai detik ini tidak dapat direalisasikan dengan baik oleh pemerintah. Kita bisa menilik bagaimana kehidupan mereka sepanjang ibu kota di negeri ini, ribuan dan bahkan jutaan anak bangsa tidur dan bertempat tinggal dikolom jembatan dengan fasilitas sealakadarnya, mereka tidak pernah memikirkan bagaimana kesehatannya tapi yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara untuk menyambung hidup ditengah himpitan ekonomi yang siap mencekik batang tengorokkannya. Problematika umat dinegeri ini kian lama makin memprihatinkan, mereka sangat membutuhkan uluran tangan Tuhan yang akan memberikan belain hangatnya. Dalam psikilogi rakyat belum ada rais yang mampu mengeluarkan mereka dari ketertindasan yang amanusiawi ini.
Anak negeri ini sudah lama menderita dan bahkan meninggal karena kurang gizi, bagaimana mungkin dinegeri kaya ini terdapat anak-anak yang kurang gizi? Bukankah Negara Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alamnya, Ataukah memang kekayaan Negara ini hanyalah retorika pemanis bibirnya penguasa? Ia, itu adalah rekayasa kamuflase yang sengaja dimainkan oleh actor-aktor yang haus dan lapar akan kekayaan, dan kalaupun benar bahwa Negara ini adalah Negara kaya akan SDA –nya lalu kapan dan siapa yang akan menikmatinya, Ataukah kekayaan itu hanya diperuntukkan mereka yang berkuasa dinegri ini? Logika apapun yang kita pakai, kita tidak akan menemukan solusi konkritnya. Kemiskinan yang sistemik seperti ini, bukanlah kutukankan Tuhan tapi melainkan kemiskinan yang sengaja diskenariokan oleh penguasa negeri ini. Malapetaka kemanusiaan ini adalah merupakan problem social seperti yang pernah diungkapkan oleh Kang Jalal dan kitapun harus mengkonstruk gerakan secara social pula.
Malapetaka kemanusiaan ini bukanlah keniscayaan historis. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari apa yang terjadi maka menjadi tugas manusia untuk membebaskan dirinya dari sistim yang amoral ini. Pernahkah kita menanyakan hal ini pada diri kita sendiri, bahwa kita sedang dilindas oleh sistim yang tidak berprikemanusiaan. Banyak manusia Indonesia yang mengAkukan dirinya sebagai putra-putri indaonesia tulen tapi prilaku dan pekirinnya cendrung menyokong eksistensi kapitalisme. Kapitalisme sudah menjadi Tuhan bagi manusia yang diperbudak oleh perut dan jabatannya. Disaat anak-anak bangsa membutuhkan uluran tangan dari dewa penyelamat, adakah sosok dewa yang akan mengeluarkan mereka dari kemiskinan yang siap membantai lautan umat manusia di negeri ini?

Jumat, 29 April 2011

rakyat melawan

kita berteriak

rakyat dianggap sebagai entitas yang tidak memiliki nilai. secara substantive rakyat hanyalah kelompok yang bodoh miskin sehingga pemimpinlah yang bertanggung jawab penuh untuk mengambil keputusan-keputusan strategis. Suara rakyat terkadang berbunyi teramat pelan. Padahal sejatinya esensi dari demokrasi adalah rakyat menjadi kelompok kuat yang memiliki kewenangan untuk mengambil mandate yang diberikan kepada wakil rakyat, namun secara nyata kelemahan-kelemahan rakyat malah dijadikan bahan eksploitasi bahkan menjadi ladang penghidupan untuk mencari proyek.
Untuk itu perlu dibangun suatu paradigma baru bahwa rakyat adalah pemegang tongkat perubahan, rakyat harus terlibat secara langsung dalam proses perubahan bukan lagi hanya jadi objek perubahan tapi musti menjadi subyek perubahan.
Dan rakyat harus mampu meengangkat derajat bangsa  ini kembali dengan mengambil bahwa di tangan rakyatlah tongkat perubahan itu,dan rakyat harus menuntut di mana segala permintaan mereka harus dapat terpenuhi olehpemerintah contohnya,lapangan pekerjaan,serta dapat mengetahui segala perubahan yang di lakukan pemeintah.rakyat dapat berperan penting dalam mengontrol perubahan,apalagi teknologi sekarang yang semakin maju dengan pesatnya,dan contohnya,media masa sebagai wadah   untuk meluangka segala aspirasi.